Senin, 05 Januari 2009

Al Habib ALi Bin Muhammad Bin Husein Al Habsy PDF Print E-mail
Written by Administrator
Monday, 29 September 2008


MANAKIB AL HABIB ALI BIN MUHAMMAD BIN HUSEN AL-HABSY

SHOHIBUL SHIMTU'D-DURROR


Al-Habib Al-Imam Al-‘Allaamah Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsy dilahirkan pada hari Jum’at 24 Syawal 1259 H di Qasam, sebuah kota di negeri Hadramaut.

Beliau dibesarkan di bawah asuhan dan pengawasan kedua orang tuanya; ayahandanya : Al-Imam Al-‘arif-billah Muhammad bin Husain bin Abdullah Al-Habsyi dan ibundanya : As-Syarifah Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Haadi Al-Jufri, yang pada masa itu terkenal sebagai seorang wanita yang salihah dan amat bijaksana.

Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Qur’an dan berhasil menguasai ilmu-ilmu dzahir dan bathin sebelum mencapai usia yang biasanya dibutuhkan untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian di hadapan khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali ia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan tampuk kepemimpinan tiap majlis ilmu, lembaga pendidikan serta pertemuan-pertemuan besar yang diadakan pada masa itu.

Selanjutnya beliau melaksanakan tugas suci yang dipercaya padanya dengan sebaik-baiknya. Menghidupkan ilmu pengetahuan Agama yang sebelumnya banyak dilupakan. Mengumpulkan, mengarahkan dan mendidik para siswa agar menuntut ilmu, di samping membangkitkan semangat mereka dalam mengejar cita-cita yang tinggi dan mulia.

Untuk menampung mereka, dibangunnya masjid “Riyadh” di kota Seiwun (Hadramaut), pondok-pondok dan asrama-asrama yang diperlengkapi dengan berbagai sarana untuk memenuhi kebutuhan mereka dapat belajar dengan tenang dan tentram, bebas dari segala pikiran yang mengganggu, khususnya yang bersangkutan dengan keperluan hidup sehari-hari.

Bimbingan dan asuhan beliau seperti ini telah memberinya hasil kepuasan yang tak terhingga dengan menyaksikan banyak sekali di antara murid-muridnya yang berhasil mencapai apa yang dicitakannya, kemudian meneruskan serta menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan saja di daerah Hadramaut, tapi tersebar luas di beberapa negeri lainnya – di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia.

Di tempat-tempat itu mereka mendirikan pusat-pusat da’wah dan penyiaran Agama, mereka sendiri menjadi perintis dan pejuang yang gigih, sehingga mendapat tempat terhormat dan disegani di kalangan masyarakat setempat. Pertemuan-petemuan keagamaan diadakan pada berbagai kesempatan. Lembaga-lembaga pendidikan dan majlis-majlis ilmu didirikan di banyak tempat, sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan dalam ruang lingkup yang luas sekali.

Al-Habib Ali sendiri telah menjadikan dirinya sebagai contoh teladan terbaik dalam menghias diri dengan akhlaq yang mulia, di samping kedermawanannya yang merata, baik di antara tokoh-tokoh terkemuka ataupun masyarakat awam, sehingga setiap kali timbul kesulitan atau keruwetan di antara mereka, niscaya beliau diminta tampil ke depan untuk menyelesaikannya.

Beliau meninggal dunia di kota Seiwun, Hadramaut, pada hari Ahad 20 Rabi’ul-Akhir 1333 H. dan meninggalkan beberapa orang putera yang telah memperoleh pendidikan sebaik-baiknya dari beliau sendiri, yang meneruskan cita-cita beliau sendiri, yang meneruskan cita-cita beliau dalam berda’wah dan menyiarkan Agama.

Diantara putera-putera beliau yang dikenal di Indonesia ialah puteranya yang bungsu : Al-Habib Alwi bin Ali Alhabsyi, pendiri masjid “Riyadh” di kota Solo (Surakarta). Ia dikenal sebagai pribadi yang amat luhur budi pekertinya, lemah-lembut, sopan-santun serta ramah-tamah terhadap siapa pun terutama kaum yang lemah; fakir miskin, yatim-piatu dan sebagainya. Rumah kedamainnya selalu terbuka bagi para tamu dari dari berbagai golongan dan tidak pernah lepas dari segi keagamaan. Beliau meninggal dunia di kota Palembang pada tanggal 20 Rabi’ul-Awal 1373 H. dan dimakamkan di kota Surakarta.

Banyak sekali ucapan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsi yang telah dicatat dan dibukukan, di samping tulisan-tulisannya yang berupa pesan-pesan ataupun surat-menyurat dengan para Ulama di masa hidupnya, juga dengan keluarga dan sanak kerabat, kawan-kawan serta murid-muridnya beliau, yang semuanya itu merupakan perbendaharan ilmu dan hikmah yang tiada habisnya.

Dan diantara karangan beliau yang sangat terkenal dan di baca pada berbagai kesempatan di mana-mana, termasuk di kota-kota di Indonesia,ialah risalah kecil ini, yang berisi kisah Maulid nabi besar Muhammad SAW, dan diberi judul : Shimthu’d-Durrar fii Akhbaar Maulid Khairil Basyar wa Maa Lahu min Akhlaaq wa Aushaaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran manusia Utama; Akhlak, sifat dan Riwayat Hidupnya).




Sa'at ziarah di Maqam Al Habib Alwi dan Al Habib Muhammad Anis Al Habsy (Solo) Bersama Al Habib Hasan Bin Ja'far Assegaf di waktu peringatan Haul Al Habib Ali Bin Muhammad Bin Husin Al Habsy

Makbaroh (Tempat peristirahatan terakhir) :

1. Al Habib Alwi Bin Ali Bin Muhammad Bin Husein Al Habsy (Putera Shohibbul Maulid)

2. Al Habib Muhammad Anis Bin Alwi bin Ali Bin Muhammad Bin Husein Al Habsy di Masjid Ar-Riyadh Solo

Last Updated ( Tuesday, 04 November 2008 )

Read more...

Manaqib Asy Syekh al Quthub Abil Hasan asy Syadzily

Kelahiran, Nasab dan Masa Kecil Syekh Abil Hasan Asy Syadzily

Asy Syekh al Imam al Quthub al Ghouts Sayyidinasy Syarif Abil Hasan Ali asy Syadzily al Hasani bin Abdullah bin Abdul Jabbar, terlahir dari rahim sang ibu di sebuah desa bernama Ghomaroh, tidak jauh dari kota Saptah, negeri Maghrib al Aqsho atau Marokko, Afrika Utara bagian ujung paling barat, pada tahun 593 H / 1197 M. Beliau merupakan dzurriyat atau keturunan ke dua puluh dua dari junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, dengan urut-urutan sebagai berikut, asy Syekh Abil Hasan Ali asy Syadzily adalah putra dari :

1. Abdullah, bin

2. Abdul Jabbar, bin

3. Tamim, bin

4. Hurmuz, bin

5. Khotim, bin

6. Qushoyyi, bin

7. Yusuf, bin

8. Yusa', bin

9. Wardi, bin

10. Abu Baththal, bin

11. Ali, bin

12. Ahmad, bin

13. Muhammad, bin

14. 'Isa, bin

15. Idris al Mutsanna, bin

16. Umar, bin

17. Idris, bin

18. Abdullah, bin

19. Hasan al Mutsanna, bin

20. Sayyidina Hasan, bin

21. Sayyidina Ali bin Abu Thalib wa Sayyidatina Fathimah az Zahro' binti

22. Sayyidina wa habibina wa syafi'ina Muhammadin, rosulillaahi shollolloohu 'alaihi wa aalihi sallam.

Sejak kecil Beliau biasa dipanggil dengan nama: 'ALI, sudah dikenal sebagai orang yang memiliki akhlaq atau budi pekerti yang amat mulia. Tutur katanya sangat fasih, halus, indah dan santun, serta mengandung makna pengertian yang dalam. Di samping memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur, Beliau juga tergolong orang yang memiliki kegemaran menuntut ilmu. Di desa tempat kelahirannya ini, Beliau mendapat tempaan pendidikan akhlaq serta cabang ilmu-ilmu agama lainnya langsung di bawah bimbingan ayah-bunda beliau. Beliau tinggal di desa tempat kelahirannya ini sampai usia 6 tahun, yang kemudian pada akhirnya hijrah ke kota Tunis (sekarang ibu kota negara Tunisia, Afrika Utara) yang semata-mata hanya untuk tujuan tholabul 'ilmi di samping untuk menggapai cita-cita luhur Beliau menjadi orang yang memiliki kedekatan dan derajat kemuliaan di sisi Allah SWT.

Beliau sampai di kota Tunis, sebuah kota pelabuhan yang terletak di tepi pantai Laut Tengah, pada tahun 599 H / 1202 M. Di suatu hari Jumat, Beliau pernah ditemui oleh Nabiyyullah Khidlir 'alaihissalam, yang mengatakan bahwa kedatangannya pada saat itu adalah diutus untuk menyampaikan keputusan Allah SWT atas diri Beliau yang pada hari itu telah dinyatakan dipilih menjadi kekasih Robbul 'Alamin dan sekaligus diangkat sebagai Wali Agung dikarenakan Beliau memiliki budi luhur dan akhlaq mulia.

Segera setelah pertemuan dengan Nabiyyullah Khidir a.s. tersebut, Beliau segera menghadap Syekh Abi Said al Baji, rokhimahullah, salah seorang ulama besar di Tunis pada waktu itu, dengan maksud untuk mengemukakan segala peristiwa yang Beliau alami sepanjang hari itu. Akan tetapi pada saat sudah berada di hadapan Syekh Abi Said, sebelum Beliau mengungkapkan apa yang menjadi maksud dan tujuannya menghadap, ternyata Syekh Abi Said al Baji sudah terlebih dahulu dengan jelas dan runtut menguraikan tentang seluruh perjalanan Beliau sejak keberangkatannya dari rumah sampai diangkat dan ditetapkannya Beliau sebagai Wali Agung pada hari itu. Sejak saat itu Beliau tinggal bersama Syekh Abi Said sampai beberapa tahun guna menimba berbagai cabang ilmu agama. Dari Syekh Abi Said Beliau banyak belajar ilmu-ilmu tentang Al Qur'an, hadits, fiqih, akhlaq, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat. Selain itu, karena kedekatan Beliau dengan sang guru, Beliau juga berkesempatan mendampingi Syekh Abi Said menunaikan ibadah haji ke Mekkah al Mukarromah sampai beberapa kali. Namun, setelah sekian tahun menuntut ilmu, Beliau merasa bahwa seluruh ilmu yang dimilikinya, mulai dari ilmu fiqih, tasawwuf, taukhid, sampai ilmu-ilmu tentang al Qur'an dan hadist, semuanya itu Beliau rasakan masih pada tataran syariat atau kulitnya saja. Karena itu Beliau berketetapan hati untuk segera menemukan jalan (thoriqot) itu sekaligus pembimbing (mursyid)-nya dari seorang Wali Quthub yang memiliki kewenangan untuk memandu perjalanan ruhaniyah Beliau menuju ke hadirat Allah SWT ? Maka dengan tekad yang kuat Beliau memberanikan diri untuk berpamitan sekaligus memohon doa restu kepada sang guru, syekh Abi Said al Baji, untuk pergi merantau demi mencari seseorang yang berkedudukan sebagai Quthub.

Perantauan Mencari Sang Quthub

Tempat pertama yang dituju oleh Beliau adalah kota Mekkah yang merupakan pusat peradaban Islam dan tempat berhimpunnya para ulama dan sholihin yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk memperdalam berbagai cabang ilmu-ilmu agama. Namun setelah berbulan-bulan tinggal di Mekkah, Beliau belum juga berhasil menemukan orang yang dimaksud. Sampai akhirnya pada suatu seat Beliau memperoleh keterangan dari beberapa ulama di Mekkah bahwa Sang Quthub yang Beliau cari itu kemungkinan ada di negeri Iraq yang berjarak ratusan kilo meter dari kota Mekkah.

Sesampainya di Iraq, dengan tidak membuang-buang waktu, segeralah Beliau bertanya ke sana-sini tentang seorang Wali Quthub yang Beliau cari kepada setiap ulama dan masyayikh yang berhasil Beliau temui. Akan tetapi, mereka semua rata-rata menyatakan tidak mengetahui keberadaan seorang Wali Quthub di negeri itu.

Memang sepeninggal Sulthonil Auliya'il Quthbir Robbani wal Ghoutsish Shomadani Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Abdul Qodir al Jilani, rodliyallahu 'anh, kedudukan Wali Quthub yang menggantikan Syekh Abdul Qodir Jilani oleh Allah disamarkan atau tidak dinampakkan dengan jelas. Pada waktu kedatangan Syekh Abil Hasan ke Baghdad itu, Syekh Abdul Qodir Jailani (470 - 561 H./1077 - 1166 M.) sudah wafat sekitar 50 tahun sebelumnya (selisih waktu antara wafatnya Syekh Abdul Qodir dan lahirnya Syekh Abil Hasan terpaut sekitar 32 tahun). Di kala hidupnya, asy Syekh. Abdul Qodir diakui oleh para ulama minash Shiddiqin sebagai seorang yang berkedudukan "Quthbul Ghouts".

Akhirnya, Beliau mendengar adanya seorang ulama yang merupakan seorang pemimpin dan khalifah thoriqot Rifa'iyah yaitu asy Syekh ash Sholih Abul Fatah al Wasithi, rodliyAllahu 'anh. Syekh Abul Fatah adalah, yang memiliki pengaruh dan pengikut cukup besar di Iraq pada waktu itu. Segeralah Beliau sowan kepada Syekh Abul Fatah dan mengemukakan bahwa Beliau sedang mencari seorang Wali Quthub yang akan Beliau minta kesediaannya untuk menjadi pembimbing dan pemandu perjalanan ruhani Beliau menuju ke hadirat Allah SWT.

Mendengar penuturan beliau, asy Syekh Abul Fatah sembari tersenyum kemudian mengatakan, "Wahai anak muda, engkau mencari Quthub jauh jauh sampai ke sini, padahal orang yang engkau cari sebenarnya berada di negeri asalmu sendiri. Beliau adalah seorang Quthubuz Zaman nan Agung pada saat ini. Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah berkeliling mencari di negeri ini. Beliau, pada saat ini sedang berada di tempat khalwatnya, di sebuah gua di puncak gunung. Temuilah yang engkau cari di sana!"

Berguru Kepada Sang Quthub

Beberapa saat setelah mendapat penjelasan dari Syekh Abul Fatah al Wasithi, Beliau segera mohon diri sekaligus minta doa restu agar Beliau bisa segera berhasil menemukan sang Quthub yang sedang dicarinya. Sesampainya di Maroko, Beliau langsung menuju ke desa Ghomaroh, tempat di mana Beliau dilahirkan. Tidak berapa lama kemudian, Beliau segera bertanya-tanya kepada penduduk setempat maupun setiap pendatang di manakah tinggalnya sang Quthub. Hampir setiap orang yang Beliau temui selalu ditanyai tentang keberadaan sang Quthub. Akhirnya setelah cukup lama mencari didapatlah keterangan bahwa orang yang dimaksud oleh Syekh Abul Fatah tiada lain adalah Sayyidisy Syekh ash Sholih al Quthub al Ghouts asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, yang pada saat itu sedang berada di tempat pertapaannya, di suatu gua yang letaknya di puncak sebuah gunung di padang Barbathoh. Demi mendengar keterangan itu, sama seperti yang dijelaskan oleh Syekh Abul Fatah al Wasithi al Iraqi, segera saja Beliau menuju ke tempat yang ditunjukkan itu.

Setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, akhirnya ditemukanlah gunung yang dimaksud. Beliau segera mendaki gunung itu menuju ke puncaknya. Dan, memang benar adanya, di puncak gunung tersebut terdapat sebuah gua. Sebelum Beliau melanjutkan perjalanannya untuk naik ke gua itu, Beliau berhenti di sebuah mata air yang terdapat di bawah gua tersebut. Selanjutnya Beliau lalu mandi di pancuran mata air itu. Hal ini Beliau lakukan semata-mata demi untuk memberikan penghormatan serta untuk mengagungkan sang Quthub, sebagai salah seorang yang memiliki derajat kcmuliaan dan keagungan di sisi Robbul 'alamin, disamping juga sebagai seorang calon guru Beliau. Begitu setelah selesai mandi, Beliau merasakan betapa seluruh ilmu dan amal Beliau seakan luruh berguguran. Dan seketika itu pula Beliau merasakan kini dirinya telah menjadi seorang yang benar-benar faqir dari ilmu dan amal. Kemudian, setelah itu Beliau lalu berwudlu dan mempersiapkan diri untuk naik menuju ke gua tersebut. Dengan penuh rasa tawadhu' dan rendah diri, Beliau mulai mengangkat kaki untuk keluar dari mata air itu.

Namun, entah datang dari arah mana, tiba-tiba datang seseorang yang tampak sudah lanjut usia. Orang tersebut mengenakan pakaian yang amat sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan. Sebagai penutup kepala, orang sepuh itu mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman jerami. Dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat kesholihan dan ketaqwaan yang amat luhur. Kendati berpenampilan sederhana, tetapi orang tersebut tampak sangat anggun, arif, dan berwibawa. Kakek tua itu kemudian mendekati Beliau seraya mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum”. Beliau, dengan agak sedikit terkejut, serta merta menjawab salam orang itu, "Wa 'alaikumus salam wa rokhmatullohi wa barokatuh." Belum pula habis rasa keterkejutan beliau, orang tersebut terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, "Marhaban! Ya, Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin...." dan seterusnya nasab Beliau disebutkan dengan runtut dan jelas sampai akhirnya berujung kepada baginda Rosululloh, shollollohu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Mendengar itu semua, Beliau menyimaknya dengan penuh rasa takjub. Belum sampai Beliau mengeluarkan kata-kata, orang tersebut kemudian melanjutkan, "Ya Ali, engkau datang kepadaku sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun amal perbuatanmu, maka engkau akan mengambil dari aku kekayaan dunia dan akhirat." Dengan demikian, maka jadi jelas dan yakinlah Beliau kini, bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar asy Syekh al Quthub al Ghouts Sayyid Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, rodhiyAllahu 'anh, orang yang selama ini dicari-carinya. "Wahai anakku, hanya puji syukur alhamdulillah kita haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah mempertemukan kita pada hari ini." Berkata Syekh Abdus Salam lagi, "Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum engkau datang ke sini, Rosululloh SAW telah memberitahukan kepadaku segala hal-ihwal tentang diri¬mu, serta akan kedatanganmu pada hari ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas dari Beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepada engkau. Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja untuk menyambutmu".

Selanjutnya, Beliau tinggal bersama dengan sang guru di situ sampai waktu yang cukup lama. Beliau banyak sekali mereguk ilmu-ilmu tentang hakikat ketuhanan dari Syekh Abdus Salam, yang selama ini belum pernah Beliau dapatkan. Tidak sedikit pula wejangan dan nasihat-nasihat yang asy Syekh berikan kepada beliau.

Pada suatu hari dikatakan oleh asy Syekh kepada beliau, "Wahai anakku, hendaknya engkau semua senantiasa melanggengkan thoharoh (mensucikan diri) dari syirik. Maka, setiap engkau berhadats cepat-cepatlah bersuci dari 'kenajisan cinta dunia'. Dan setiap kali engkau condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai dan menggelincirkan dirimu."

Berkata asy Syekh Ibn Masyisy kepada beliau, "Pertajam pengelihatan imanmu, niscaya engkau akan mendapatkms Allah; Dalam segala sesuatu; Pada sisi segala sesuatu; Bersama segala sesuatu; Atas segala sesuatu; Dekat dari segala sesuatu; Meliputi segala sesuatu; Dengan pendekatan itulah sifatNya; Dengan meliputi itulah bentuk keadaanNya."

Di lain waktu guru beliau, rodhiyallahu 'anh, itu mengatakan, "Semulia-mulia amal adalah empat disusul empat : KECINTAAN demi untuk Allah; RIDHO atas ketentuan Allah; ZUHUD terhadap dunia; dan TAWAKKAL atas Allah.

Kemudian disusul pula dengan empat lagi, yakni MENEGAKKAN fardhu-fardbu Allah; MENJAUHI larangan-laranganAllah; BERSABAR terhadap apa-apa yang tidak berarti; dan

WARO' menjauhi dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang melalaikan".

Asy Syekh juga pernah berpesan kepada. beliau, "Wahai anakku, janganlah engkau melangkahkan kaki kecuali untuk Allah, sesuatu yang dapat mendatangkan kcridhoan Allah, dan jangan pula engkau duduk di suatu majelis kecuali yang aman dari murka Allah. Janganlah engkau bersahabat kecuali dengan orang yang bisa membantu engkau berlaku taat kepada-Nya. Serta jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang bisa menambah keyakinanmu terhadap Allah”.

Asy Syekh Abdus Salam sendiri adalah merupakan pribadi yang amat berpegang teguh kepada Kitab Allah dan as Sunnah. Walaupun pada kenyataannya Syekh Abil Hasan adalah muridnya, namun Syekh Abdus Salam juga amat mengagumi akan ilmu yang dimiliki oleh sang murid, terutama tentang Kitabullah dan Sunnah, disamping derajat kesholihan dan kewaliannya, serta kekeramatan Syekh Abul Hasan.

Tetapi, dari semua yang Beliau terima dari asy Syekh, hal yang terpenting dan paling bersejarah dalam kehidupan Beliau di kemudian hari ialah diterimanya ijazah dan bai'at sebuah thoriqot dari asy Syekh Abdus Salam yang rantai silsilah thoriqot tersebut sambung-menyambung tiada putus sampai akhirnya berujung kepada Allah SWT. Silsilah thoriqot ini urut-urutannya adalah sebagai berikut :

Beliau, asy Syekh al Imam Abil Hasan Ali asy Syadzily menerima bai'at thoriqot dari :

1. Asy Syekh al Quthub asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy, Beliau menerima talgin dan bai'at dari

2. Al Quthub asy Syarif Abdurrahman al Aththor az Zayyat al Hasani al Madani, dari

3. Quthbil auliya' Taqiyyuddin al Fuqoyr ash Shufy, dari

4. Sayyidisy Syekh al Quthub Fakhruddin, dari

5. Sayyidisy Syekh al Quthub NuruddinAbil HasanAli, dari

6. Sayyidisy Syekh Muhammad Tajuddin, dari

7. Sayyidisy Syekh Muhammad Syamsuddin, dari

8. Sayyidisy Syekh al Quthub Zainuddin al Qozwiniy, dari

9. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Ishaq Ibrohim al Bashri, dari

10. Sayyidisy Syekh al Quthub Abil Qosim Ahmad al Marwani, dari

11. Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Said, dari

12. Sayyidisy Syekh Sa'ad, dari

13. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Fatkhus Su'udi, dari

14. Sayyidisy Syekh al Quthub Muhammad Said al Ghozwaniy, dari

15. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Jabir, dari

16. Sayyidinasy Syarif al Hasan bin Ali, dari

17. Sayyidina'Ali bin Abi Tholib, karromallahu wajhah, dari

18. Sayyidina wa Habibina wa Syafi'ina wa Maulana Muhammadin, shollollohu 'alaihi wa aalihi wasallam, dari

19. Sayyidina Jibril, 'alaihis salam, dari

20. Robbul 'izzati robbul 'alamin.

Setelah menerima ajaran dan baiat thoriqot ini, dari hari ke hari Beliau merasakan semakin terbukanya mata hati beliau. Beliau banyak menemukan rahasia-rahasia Ilahiyah yang selama ini belum pernah dialaminya. Sejak saat itu pula Beliau semakin merasakan dirinya kian dalam menyelam ke dasar samudera hakekat dan ma'rifatulloh. Hal ini, selain berkat dari keagungan ajaran thoriqot itu sendiri, juga tentunya karena kemuliaan barokah yang terpancar dari ketaqwaan sang guru, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, rodhiyAllahu 'anh.

Thoriqot ini pula, di kemudian hari, yaitu pada waktu Beliau kelak bermukim di negeri Tunisia dan Mesir, Beliau kembangkan dan sebar luaskan ke seluruh penjuru dunia melalui murid-murid beliau. Oleh karena Beliau adalah orang yang pertama kali mendakwahkan dan mengembangkan ajaran thoriqot ini secara luas kepada masyarakat umum, sehingga akhirnya masyhur di mana-mana, maka Beliau pun kemudian dianggap sebagai pendiri thoriqot ini yang pada akhirnya menisbatkan nama thoriqot ini dengan nama besar beliau, dengan sebutan "THORIQOT SYADZILIYAH". Banyak para ulama dan pembesar-pembesar agama di seluruh dunia, dari saat itu sampai sekarang, yang mengambil berkah dari mengamalkan thoriqot ini. Sebuah thoriqot yang amat sederhana, tidak terlalu membebani bagi khalifah dan para guru mursyidnya serta para pengamalnya.

Setelah cukup lama Beliau tinggal bersama asy Syekh, maka tibalah saat perpisahan antara guru dan murid. Pada saat perpisahan itu Syekh Abdus Salam membuat pemetaan kehidupan murid tercinta Beliau tentang hari-hari yang akan dilalui oleh Syekh Abil Hasan dengan mengatakan, "Wahai anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah saatnya kini engkau untuk beriqomah. Sekarang pergilah dari sini, lalu carilah sebuah daerah yang bernama SYADZILAH. Untuk beberapa waktu tinggallah engkau di sana. Kemudian perlu kau ketahui, di sana pula Allah 'Azza wa Jalla akan menganugerahi engkau dengan sebuah nama yang indah, asy Syadzily."

"Setelah itu," lanjut asy Syekh, "Kemudian engkau akan pindah ke negeri Tunisia. Di sana engkau akan mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya dari penguasa negeri itu. Sesudah itu, wahai anakku, engkau akan pindah ke arah timur. Di sana pulalah kelak engkau akan menerima warisan al Quthubah dan menj adikan engkau seorang Quthub."

Pada waktu akan berpisah, Beliau mengajukan satu permohonan kepada asy Syekh agar memberikan wasiat untuk yang terakhir kalinya, dengan mengatakan, "Wahai Tuan Guru yang mulia, berwasiatlah untukku." Asy Syekh pun kemudian berkata, "Wahai Ali, takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu daripada menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat, pen.) dan tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka sempurnalah Allah mengasihani dirimu."

Lanjut asy Syekh lagi, "Jangan engkau memperingatkan kepada mereka, tetapi utamakanlah kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirimu, maka dengan cara yang demikian akan sempurnalah waro'mu." "Dan berdoalah wahai anakku, 'Ya Allah, rahmatilahlah diriku dari ingatan kepada mereka dan dari segala masalah yang datang dari mereka, dan selamatkanlah daku dari kejahatan mereka, dan cukupkanlah daku dengan kebaikan-kebaikanMu dan bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku dengan beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah atas segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa."'

Selanjutnya, setelah perpisahan itu, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy yang dilahirkan di kota Fes, Maroko, tetap tinggal di negeri kelahirannya itu sampai akhir hayat beliau. Sang Quthub nan agung ini meninggal dunia pada tahun 622 H./1225 M. Makam Beliau sampai saat ini ramai diziarahi kaum muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia.

Di Syadzilah

Seusai berpisah dengan asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau mulai menapaki perjalanan yang pertama sebagai apa yang telah dipetakan oleh sang guru, yaitu mencari sebuah desa bernama Syadzilah. Setelah dicari-cari, akhirnya sampailah Beliau di sebuah desa bernama Syadzilah yang terletak di wilayah negeri Tunisia. Pada saat Beliau tiba di desa itu, yang mengherankan, Beliau sudah disambut dan dielu-elukan oleh segenap penduduk Sya¬dzilah, sedang Beliau sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang memberitakan akan kedatangan beliau. Tapi, itu sebuah kenya¬taan bahwa mereka dalam memberikan sambutan kepada Beliau tampak sekali terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat dalam, seakan mereka bisa bertemu dengan orang yang sudah lama dinanti-nantikan.

Beliau tinggal di tengah-tengah desa Syadzilah hanya beberapa hari saja. Karena, sejak tiba di kota itu, Beliau telah memutuskan untuk tidak berlama-lama berada di tengah keramaian masyarakat. Beliau ingin bermukim di tempat yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuknya orang-orang. Memang, tujuan Beliau datang ke kota itu, sesuai dengan petunjuk sang guru, semata-mata hanyalah untuk lebih meningkatkan dan menyempurnakan ibadah Beliau dengan cara menjauh dari masyarakat.

Akhirnya, Beliau memilih tempat di luar kota Syadzilah, yaitu di sebuah bukit yang bernama Zaghwan. Maka, berangkatlah Beliau ke bukit itu dengan diiringi oleh sahabat Beliau bernama Abu Muhammad Abdullah bin Salamah al Habibie. Dia adalah seorang pemuda penduduk asli Syadzilah yang memiliki ketaqwaan dan telah terbuka mata hatinya (mukasyafah).

Di bukit itu, Beliau melakukan laiihan-latihan ruhani dengan menerapkan disiplin diri yang tinggi. Setiap jengkal waktu, Beliau gunakan untuk menempa ruhani dengan melakukan riyadhoh, mujahadah dan menjalankan wirid-wirid sebagaimana yang telah diajarkan oleh guru beliau, asy Syekh Abdus Salam. Di bukit itu, Beliau melakukan uzlah dan suluk dengan cara menggladi nafsu sehingga benar-benar menjadi pribadi yang cemerlang dan istiqomah yang diliputi dengan rasa khidmah dan mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya.

Untuk kehidupannya, Beliau bersama sahabat setianya, al Habibie, hanya mengambil tumbuhan yang ada di sekitar bukit Zaghwan itu saja. Tetapi, sejak Beliau bermukim di bukit itu, Allah SWT telah mengaruniakan sebuah mata air untuk meme¬nuhi keperluan beliau.

Pernah, pada suatu hari, Beliau menyaksikan gusi al Habibie terluka hingga mengeluarkan darah lantaran terkena ranting dari dedaunan yang dimakannya. Melihat hal itu, Leliau menjadi terharu karena sahabat yang setia mengiringinya harus mengalami kesakitan. Segera saja, setelah itu, Beliau mengajak al Habibie turun ke desa Syadzilah untuk mencari makanan yang lunak. Dan sekiranya telah tercukupi, maka Beliau berdua segera naik kembali ke bukit Zaghwan untuk meneruskan "perjalanan". Memang, semenjak beruzlah di bukit itu, kadang-kadang Beliau berdua turun ke desa Syadzilah untuk berbagai keperluan.

Berkaitan dengan pengalaman keruhanian, diceritakan oleh al Habibie, bahwa pada suatu ketika dia pernah melihat dalam pandangan mata batinnya, nampak segerombolan malaikat, 'alaihimus sholatu was salam, mengerumuni asy Syekh. Bahkan, lanjut al Habibie, "Sebagian dari malaikat itu ada yang berjalan beriringan bersamaku dan ada pula yang bercakap-cakap dengan aku." Tidak jarang pula dilihat oleh al Habibie arwah para waliyulloh yang secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, mendatangi dan mengerubuti asy Syekh. Para wali-wali itu, rohimahumulloh, dikatakan oleh al Habibie, merasakan memperoleh berkah lantaran kedekatan dan kebersamaan mereka dengan asy Syekh.

Sehubungan dengan nama desa Syadzilah, yang akhirnya bertautan dengan nama beliau, diceritakan oleh beliau, bahwa Beliau pada suatu ketika dalam fana'nya, pernah mengemukakan sebuah pertanyaan kepada Allah SWT, "Ya Robb, mengapa nama Syadzilah Engkau kaitkan dengan namaku ?" Maka, dikatakan kepadaku, "Ya Ali, Aku tidak menamakan engkau dengan nama asy Syadzily, tetapi asy Syaadz-ly (penekanan kata pada "dz") yang artinya jarang (langka), yaitu karena keistimewaanmu dalam menyatu untuk berkhidmat demi untuk¬Ku dan demi cinta kepada-Ku."

Beliau tinggal di bukit Zaghwan itu sampai bertahun-tahun, sampai pada suatu hari, Beliau mendapatkan perintah dari Allah SWT agar turun dari bukit dan keluar dari tempat khalwatnya untuk segera mendatangi masyarakat.

Diceritakan oleh beliau, begini, "Pada waktu itu telah dikatakan kepadaku, 'Hai Ali, turun dan datangilah manusia-manusia, agar mereka memperoleh manfaat dari padamu !' Lalu, akupun mengatakan, 'Ya Allah, selamatkanlah diriku dari manusia banyak, karena aku tidak berkemampuan untuk bergaul dengan mereka'. Lalu dikatakan kepadaku, 'Turunlah, wahai Ali ! Aku akan mendampingimu dengan keselamatan dan akan Aku singkirkan engkau dari marabahaya'. Aku katakan pula, 'Ya Allah, Engkau serahkan diriku kepada manusia-manusia, termasuk apa yang aku makan dan harta yang aku pakai ?' Maka, dikatakan kepadaku, 'Hendaklah engkau menafkahkan dan Aku-lah yang mengisi, pilihlah dari jurusan tunai ataukah jurusan ghaib."'

Setelah selesai menjalani seperti apa yang telah dipetakan oleh asy Syekh Abdus Salam dan setelah mendapat perintah untuk keluar dari tempat uzlahnya guna mendatangi masyarakat, maka Beliau segera melanjutkan perjalanannya sesuai dengan pemetaan berikutnya, yaitu menuju ke kota Tunis.

Di Tunis

Bagi beliau, kota Tunis tentu sudah tidak asing lagi. Karena sejak usia anak-anak hingga remaja Beliau bemukim di kota ini sampai bertahun-tahun. Namun, seperti apa yang Beliau saksikan pada saat kedatangan Beliau kali ini, ternyata negeri ini tidak mengalami banyak perubahan dan kemajuan. Masih tetap seperti dulu. Penduduk negeri ini tetap miskin dan sering dilanda kelaparan. Namun demikian, sejak kedatangannya, Beliau juga masih tetap berusaha untuk meringankan penderitaan penduduk dalam menghadapi kelaparan. Alkisah, dalam usaha Beliau memberikan pertolongan kepada mereka, Beliau sering didatangi nabiyulloh Khidlir, 'alaihissalam, guna membantu Beliau sekaligus untuk menyelamatkan Beliau dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Hal ini terjadi karena berkat kebesaran jiwa dan kesantunan beliau.

Pada saat itu, negeri Tunisia berada di bawah kekuasaan pemerintahan seorang sultan atau raja yang bernama Sultan Abu Zakariyya al Hafsi. Dalam pemerintahan Sultan Abu Zakariyya, di antara jajaran para menterinya ada seorang kadi (hakim agama) yang bernama Ibnul Baro'. Dia adalah seorang faqih, namun di sisi lain dia juga memiliki hati yang buruk. Keserakahan untuk memiliki kedudukan, pengaruh, dan kekuasaan itulah yang membuat nafsu iri dengkinya tumbuh subur di dalam hati Ibnul Baro'. Dendam kesumat dan keinginan menjatuhkan orang lain pun semakin membara dalam dadanya. Pikiran dan hatinya siang malam hanya tertuju bagaimana cara mempertahankan dan memperkuat pengaruh dan jabatannya.

Asy Syekh Abil Hasan datang ke Tunis selain untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh guru beliau, juga karena memang mendapat perintah untuk berdakwah. Setelah beberapa bulan Beliau melakukan dakwah di kota Tunis itu, maka kelihatanlah semakin banyak orang-orang berkerumun mendatangi beliau. Selain masyarakat kebanyakan yang hadir dalam majelis-majelis pengajiannya, juga tidak sedikit orang-orang alim, sholih dan ahli karomah yang turut serta mendengarkan dan menyimak nasehat-nasehat beliau. Di antara mereka tampak, antara lain: asy Syekh Abul Hasan Ali bin Makhluf asy Syadzily, Abu Abdullah ash Shobuni, Abu Muhammad Abdul Aziz az Zaituni, Abu Abdullah al Bajja'i al Khayyath, dan Abu Abdullah al Jarihi. Mereka semua merasakan kesejukan siraman rohani yang luar biasa yang keluar dari kecemerlangan hati dan lisan nan suci asy Syekh. Padahal, pada waktu itu Beliau masih berumur sekitar 25 tahun.

Fenomena tersebut ditangkap oleh Ibnul Baro' sebagai sebuah pemandangan yang amat tidak mengenakkan perasaannya. Keberadaan asy Syekh di kota Tunis ini dianggap sebagai kerikil yang mengganggu bagi dirinya. Setiap berita yang berkaitan dengan asy Syekh ditangkap oleh telinga Ibnul Baro' lalu menyusup masuk ke relung hatinya yang telah terbakar bara kebencian dan rasa iri dengki yang mendalam.

Demi melihat kenyataan masyarakat semakin condong dan berebut mengerumuni asy Syekh, seketika itu pula pudarlah khayalan-khayalan Ibnul Baro'. Timbul prasangka buruk bahwa Syekh Abil Hasan telah merampas haknya, bahkan besar kemungkinan kalau pada akhirnya nanti akan menumbangkan kedudukannya serta mengambil alih jabatan yang amat dicintainya itu. Oleh karena itu, dengan menepuk dada disertai sikap angkuhnya Ibnul Baro' mengumumkan pernyataan secara terang-terangan, bahwa dia telah memaklumkan "perang" melawan asy Syekh Abil Hasan Ali asy Syadzily, rodhiyallahu 'anh.

Namun demikian meski bertahun-tahun mengalami serangan dan fitnahan dari orang yang dengki kepada Beliau, tetapi yang namanya intan adalah tetap intan. Beliau adalah seorang kekasih Allah yang memiliki derajat kemuliaan yang tinggi. Dan apabila seorang kekasih-Nya dianiaya oleh orang lain, maka Allah sendirilah yang akan membalasnya. Itulah yang terjadi, sehingga akhirnya seluruh negeri mengetahui kemulian asy Syekh Abil Hasan Syadzily, rodhiyallahu 'anh.

Setelah itu, terbetik dalam hati asy Syekh untuk kembali menunaikan ibadah haji. Beliau lalu menyerukan kepada para murid dan pengikutnya agar mereka, untuk sementara waktu, hijrah atau berpindah ke negeri sebelah timur, sambil menunggu datangnya musim haji yang pada waktu itu masih kurang beberapa bulan lagi. Maka, segera bersiap-siaplah Beliau dengan para pengikutnya untuk melakukan perj alanan jauh menuju ke negeri Mesir.

Dalam perjalan ke Mesir tersebut masih tidak lepas dari rekayasa fitnah Ibnul Baro' sehingga Sultan mempermasalahkan kehadiran Beliau di negeri Mesir. Tetapi Allah tetap memberikan perlindungan-Nya, menujukkan bahwa asy Syekh adalah kekasihnya dan dengan kebesaran hati dan kehalusan budi pekerti beliaulah, akhirnya Beliau bersedia memaafkan dan mendoakan Sultan hingga mereka semua menganggap pertemuan mereka dengan asy Syekh adalah merupakan anugerah Tuhan yang tiada terkira bagi mereka.

Namun, sebagaimana yang telah direncanakan, asy Syekh tinggal di Mesir hanya untuk beberapa bulan saja, sampai datangnya waktu musim haji. Setelah tiba pada saatnya asy Syekh pun mohon diri kepada Sultan untuk melanjutkan perjalanan menuju ke tanah suci Mekkah. Ringkas cerita, di sana Beliau mengerjakan ibadah haji sampai secukupnya, lalu Beliau melanjutkan perjalanan ke tanah suci Madinah guna untuk berziarah ke makam Rasulullah SAW. Setelah semuanya itu selesai, maka kembalilah Beliau beserta rombongan ke negeri Tunisia.

Sewaktu asy Syekh kembali dari tanah suci, Sultan Abu Zakariyya al Hafsi beserta penduduk Tunis tampak bersukacita menyambut kedatangan beliau. Rasa gembira sulit mereka sembunyikan, karena asy Syekh yang mereka cintai dan mereka hormati kini telah kembali berkumpul bersama mereka lagi. Namun, suasana gembira ini tidak berlaku bagi Ibnul Baro'. Bagi dia, kembalinya asy Syekh berarti merupakan sebuah "malapetaka" dan pertanda dimulainya lagi sebuah "pertempuran". Tetap seperti dulu. Dengan berbagai cara dia selalu berusaha agar asy Syekh, yang merupakan musuh bebuyutannya itu, secepatnya lenyap dari muka bumi ini. Namun, alhamdulillah, semua upaya jahat itu selalu menemui kegagalan.

Kemudian, setelah beberapa hari sejak kedatangan dari tanah suci, asy Syekh lalu melanjutkan tugasnya untuk mengajar dan berdakwah. Zawiyah atau pondok pesulukan, sebagai bengkel rohani yang Beliau dirikan juga kian diminati para 'pejalan'. Dalam catatan sejarah, zawiyah pertama yang asy Syekh dirikan di Tunisia adalah pads tahun 625 H./1228 M., ketika Beliau berusia sekitar 32 tahun. Di hari-hari berikutnya semakin banyak orang-orang yang mendatangi beliau, baik penduduk setempat maupun orang-orang yang datang dari luar negeri Tunisia.

Di antara murid-murid asy Syekh yang datang dari luar negeri Tunisia; terdapat seorang pemuda yang berasal dari daerah Marsiyah, negeri Marokko, tidak jauh dari daerah tempat kelahiran asy Syekh sendiri, yang bernama Abul Abbas al Marsi. Pertemuan asy Syekh dengan pemuda ini tampak benar-benar merupakan sebuah pertemuan yang amat istimewa, sampai-sampai pada suatu hari asy Syekh berkata, "Aku tentu tidak akan ditakdirkan kembali ke negeri Tunisia, kecuali karena pemuda ini. Dialah yang akan menjadi pendampingku dan dia pulalah yang kelak akan menjadi khalifah penggantiku." Menurut sebuah catatan, pemuda al Marsi (al Mursi) ini ketika masih berada di Maroko, pernah pula, walaupun tidak terlalu lama, berguru secara langsung kepada asy Syekh Abdus Salam sampai meninggalnya Beliau tahun 622 H./ 1225 M.

Kembalinya asy Syekh ke Tunis dari perjalanan hajinya kali ini hanyalah semata-mata untuk melanjutkan tugas mengajar dan berdakwah, seperti yang telah diperintahkan pada saat Beliau di gunung Barbathoh dan di bukit Zaghwan. Semuanya itu Beliau jalani sambil menanti datangnya "perintah" selanjutnya untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy. Pada saat pemetaan, guru Beliau itu mengatakan bahwa setelah bermukim di negeri Tunisia ini, yaitu setelah "dihajar" oleh penguasa negeri itu, maka Beliau kemudian harus melanjutkan perjalanannya menuju ke arah timur.

Dalam hari-hari penantiannya itu, pada suatu malam asy Syekh bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Waktu itu, Rasulullah berkata, "Ya Ali, sudah saatnya kini engkau meninggalkan negeri ini. Sekarang pergilah engkau ke negeri Mesir.'' Kemudian Rosululloh melanjutkan, "Dan ketahuilah, wahai Ali, selama dalam perjalananmu menuju ke Mesir, Allah akan menganugerahkan kepadamu tujuh puluh macam karomah. Selain itu, di sana pula kelak engkau akan mendidik empat puluh orang dari golongan shiddiqin."

Jadi, apabila dicermati, ketika turunnya asy Syekh dari puncak gunung di padang Barbathoh, Maroko, yang merupakan 'langkah pertama', adalah karena atas perintah guru beliau, asy Syekh Abdus Salam. Kemudian, pada waktu turunnya Beliau dari bukit Zaghwan di Syadzilah, sebagai 'langkah ke dua', adalah karena perintah Allah SWT. Sedangkan, pada kali ini, keluarnya asy Syekh dari Tunisia menuju Mesir, sebagai 'langkah ke tiga' atau langkah yang terakhir, merupakan perintah Rasulullah SAW.

Bermukim di Mesir

Beberapa hari asy Syekh dan rombongan melakukan perjalanan, tibalah asy Syekh di negeri Mesir. Beliau langsung menuju ke kota Iskandaria, kota indah yang selalu Beliau singgahi setiap perjalanan haji beliau. Alkisah, pads saat asy Syekh menginjakkan kaki di negeri Mesir, saat itu bertepatan tanggal 15 Sya'ban (Nisfu Sya'ban). Dan, karena takdir Allah jualah, hari itu bersamaan dengan wafatnya asy Syekh Abul Hajjaj al Aqshory, rodhiyAllahu 'anh, yang dikenal sebagai Quthubuz Zaman pada waktu itu. Sehingga, di kemudian hari, oleh para ulama minash shiddiqin Mesir, asy Syekh Abul Hasan asy Syadzily diyakini sejak hari itu juga telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai Wali Quthub menggantikan asy Syekh Abul Hajjaj al Agshory.

Kedatangan Beliau di kota Iskandaria ini mendapatkan sambutan hangat dari Sultan Mesir maupun penduduk yang sudah banyak mengenal dan mendengar nama beliau. Tidak hanya orang-orang dari kalangan biasa, tapi juga segenap ulama, para sholihin dan shiddiqin, para ahli hadits, ahli fiqih, dan manusia-manusia yang sudah mencapai tingkat kemuliaan lainnya. Mereka semua, dengan senyum kebahagiaan membuka tangan seraya mengucapkan, "Marhaban, ahlan wa sahlan ! " Pertemuan mereka dengan asy Syekh tampak begitu akrab dan hangatnya, seakan-akan perjumpaan sebuah keluarga yang telah lama terpisah. Sebagaimana negeri Iraq, negeri Mesir juga merupakan gudangnya para ulama besar minash sholihin di wilayah itu.

Oleh Sultan Mesir, Beliau diberi hadiah sebuah tempat tinggal yang cukup luas bernama Buruj as Sur. Tempat itu berada di kota Iskandaria, sebuah kota yang terletak di pesisir Laut Tengah. Kota Iskandaria (Alexandria) terkenal sebagai kota yang amat indah, menyenangkan, dan penuh keberkahan. Di komplek pemukiman Beliau itu terdapat tempat penyimpanan air dan kandang-kandang hewan. Di tengah-tengah komplek terdapat sebuah masjid besar, dan di sebelahnya ada pula petak-petak kamar sebagai zawiyah (tempat tinggal para murid thoriqot untuk uzlah atau suluk).

Di tempat itu pula asy Syekh melaksanakan pernikahan dan membangun bahtera rumah tangga beliau. Dari pernikahan asy Syekh, lahirlah beberapa putra dan keturunan beliau, di antaranya: asy Syekh Syahabuddin Ahmad, Abul Hasan Ali, Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, Zainab, dan 'Arifatul Khair. Sebagian putra-putri Beliau itu setelah menikah kemudian menetap di kota Damanhur, tidak jauh dari Iskandaria. Sedangkan sebagian lagi tetap tinggal di Iskandaria menemani asy Syekh bersama ibunda mereka.

Seperti apa yang telah Beliau lakukan selama di Tunisia, di "negeri para Ulama" ini pun asy Syekh juga tetap berdakwah dan mengajar. Asy Syekh menjadikan kota Iskandaria yang penuh keberkahan ini sebagai pusat dakwah dan pengembangan thoriqot Beliau pada tahun 642 H./ 1244 M. Beliau kemudian membangun sebuah masjid dengan menara-menara besar yang menjulang tinggi ke angkasa. Di salah satu menara itu asy Syekh menjalankan tugas sebagai seorang guru mursyid, yaitu sebagai tempat untuk membai'at murid-murid beliau. Sedangkan di bagian menara yang lain, Beliau pergunakan sebagai tempat untuk "menyalurkan hobby" Beliau selama ini, yaitu khalwat. Selain di Iskandaria, di kota Kairo pun, sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mesir, Beliau juga memiliki aktifitas rutin mengajar.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, majelis-majelis pengajian Beliau dibanjiri pengunjung, baik dari kalangan masyarakat awam, keluarga dan petinggi kerajaan, maupun para ulama besar dan terkemuka. Para orang-orang alim dan sholeh yang bertemu dan mengikuti penguraian dan pengajian-pengajian beliau, yang datang dari barat maupun timur, mereka semua merasa kagum dengan apa yang disampaikan oleh asy Syekh. Bahkan, tidak sampai berhenti di situ saja. Mereka kemudian juga berbai'at kepada asy Syekh sekaligus menyatakan diri sebagai murid beliau.

Dari deretan para ulama itu, terdapat nama-nama agung, seperti: Sulthonul 'Ulama Sayyid asy Syekh 'Izzuddin bin Abdus Salam, asy Syaikhul Islami bi Mishral Makhrusah, asy Syekh al Muhadditsiin al Hafidh Taqiyyuddin bin Daqiiqil 'led, asy Syekh al Muhadditsiin al Hafidh Abdul 'Adhim al Mundziri, asy Syekh Ibnush Sholah, asy Syekh Ibnul Haajib, asy Syekh Jamaluddin Ushfur, asy Syekh Nabihuddin bin'Auf, asy Syekh Muhyiddin bin Suroqoh, dan al Alam Ibnu Yasin (salah satu murid terkemuka al Imamul Akbar Sayyidisy Syekh Muhyiddin Ibnul Arabi, rodhiyAllahu 'anh, wafat tahun 638 H./1240 M.), serta masih banyak lagi yang lainnya. Mereka semua hadir serta mengikuti dengan tekun dan seksama majelis pengajian yang sudah ditentukan secara berkala oleh asy Syekh, baik di Iskandaria maupun Kairo. Di Kairo, tempat yang biasa dipergunakan asy Syekh untuk berdakwah adalah di perguruan "Al Kamilah".

Selain dakwah dan syiar Beliau melalui majelis-majelis pengajian, khususnya dalam bidang ilmu tasawuf, semakin berkembang dan mengalami kemajuan pesat, thoriqot yang Beliau dakwahkan pun semakin berkibar. Orang-orang yang datang untuk berbaiat dan mengambil barokah thoriqot Beliau datang dari segala penjuru dan memiliki latar belakang beraneka warna. Mulai dari masyarakat umum hingga para ulama, para pejabat hingga rakyat jelata. Zawiyah (pondok pesulukan), sebagai wadah penempaan ruhani, yang Beliau dirikan pun kian hari semakin dipadati oleh santri-santri beliau.

Thoriqot yang asy Syekh terima dari guru beliau, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau dakwahkan secara luas dan terbuka. Sebuah thoriqot yang mempunyai karakter tasawuf ala Maghribiy, yaitu lebih memiliki kecenderungan dan warna syukur, sehingga bagi para pengikutnya merasakan dalam pengamalannya tidak terlalu memberatkan. Dalam pandangan thoriqot ini, segala yang terhampar di permukaan bumi ini, baik itu yang terlihat, terdengar, terasa, menyenangkan, maupun tidak menyenangkan, semuanya itu merupakan media yang bisa digunakan untuk "lari" kepadaAllah SWT.

Selain itu, thoriqot yang Beliau populerkan ini juga dikenal sebagai thoriqot yang termudah dalam hal ilmu dan amal, ihwal dan maqam, ilham dan maqal, serta dengan cepat bisa menghantarkan para pengamalnya sampai ke hadirat Allah SWT. Di samping itu, thoriqot ini juga terkenal dengan keluasan, keindahan, dan kehalusan doa dan hizib-hizibnya.

Di samping kiprah Beliau dalam syiar dan dakwah serta pembinaan ruhani bagi para murid-muridnya, asy Syekh juga turut secara langsung terjun dan terlibat dalarn perjuangan di medan peperangan. Ketika itu, raja Perancis Louis IX yang memimpin tentara salib bermaksud hendak membasmi kaum muslimin dari muka bumi sekaligus menumbangkan Islam dan menaklukkan seluruh jazirah Arab. Asy Syekh, yang kala itu sudah berusia 60 tahun lebih dan dalam keadaan sudah hilang pengelihatan, meninggalkan rumah dan keluarga berangkat ke kota Al Manshurah. Beliau bersama para pengikutnya bergabung bersama para mujahidin dan tentara Mesir. Sedangkan pada waktu itu pasukan musuh sudah berhasil menduduki kota pelabuhan Dimyat (Demyaat) dan akan dilanjutkan dengan penyerbuan mereka ke kota Al Manshurah.

Selain syekh Abul Hasan, tidak sedikit para ulama Mesir yang turut berjuang dalam peristiwa itu, antara lain: al Imam syekh Izzuddin bin Abdus Salam, syekh Majduddin bin Taqiyyuddin Ali bin Wahhab al Qusyairi, syekh Muhyiddin bin Suroqoh, dan syekh Majduddin al Ikhmimi. Para shalihin dan ulama minash shiddiqin itu, di waktu siang hari berpeluh bahkan berdarah-darah di medan pertempuran bersama para pejuang lainnya demi tetap tegaknya panji-panji Islam. Sedangkan, apabila malam telah tiba, mereka semua berkumpul di dalam kemah untuk bertawajjuh, menghadapkan diri kepada Allah SWT, dengan melakukan sholat dan menengadahkan tangan untuk berdoa dan bermunajat kepada "Sang Penguasa" agar kaum muslimin memperoleh kemenangan. Setelahh selesai mereka beristighotsah, di tengah kepekatan malam, mereka kemudian mengkaji dan mendaras kitab-kitab, terutama yang dinilai ada hubungannya dengan situasi pada saat itu. Kitab-kitab itu antara lain: Ihya Ulumuddin, Qutul Qulub, dan ar Risalah.

Dan, alhamdulillah, karena anugerah Allah jualah akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh kaum muslimin. Raja Louis IX beserta para panglima dan bala tentaranya berhasil ditangkap dan ditawan. Perlu diketahui, sebelum berakhirnya peperangan itu, pada suatu malam asy Syekh, dalam mimpi beliau, bertemu dengan Rasulullah SAW. Pada waktu itu, Rasulullah SAW berpesan kepada Beliau supaya memperingatkan Sultan agar tidak mengangkat pejabat-pejabat yang lalim dan korup. Dan Rasulullah menyampaikan bahwa pertempuran akan segera berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Maka, pada pagi harinya asy Syekh pun mengabarkan berita gembira itu kepada teman-teman seperjuangan beliau. Dan kenyataannya, setelah pejabat-pejabat tersebut diganti, maka kemenangan pun datang menjelang. Peristiwa berjayanya kaum muslimin itu terjadi pada bulan Dzul Hijjah tahun 655 H./1257 M. Usai peperangan itu asy Syekh lalu kembali ke Iskandaria.

Wafatnya Asy Syekh Abil Hasan Asy Syadzily

Asy Syekh menjalankan dakwah dan mensyiarkan thoriqotnya di negeri Mesir itu sampai pada bulan Syawal 656 H./1258 M. Pada awal bulan Dzul Qa'dah tahun itu juga, terbetik di hati asy Syekh untuk kembali menjalankan ibadah haji ke Baitullah. Keinginan itu begitu kuat mendorong hati beliau. Maka, kemudian diserukanlah kepada seluruh keluarga Beliau dan sebagian murid asy Syekh untuk turut menyertai beliau. Ketika itu asy Syekh juga memerintahkan agar rombongan membawa pula seperangkat alat untuk menggali. Memang suatu perintah yang dirasa agak aneh bagi para pengikut beliau. Pada saat ada seseorang yang menanyakan tentang hal itu, asy Syekh pun menj awab, "Ya, siapa tahu di antara kita ada yang meninggal di tengah perjalanan nanti."

Pada hari yang sudah ditentukan, berangkatlah rombongan dalam jumlah besar itu meninggalkan negeri Mesir menuju kota Makkah al Mukarromah. Pada saat perjalanan sampai di gurun 'Idzaab, sebuah daerah di tepi pantai Laut Merah, tepatnya di desa Khumaitsaroh, yaitu antara Gana dan Quseir, asy Syekh memberi aba-aba agar rombongan menghentikan perjalanan untuk beristirahat. Setelah mereka semua berhenti, lalu didirikanlah tenda-tenda untuk tempat peristirahatan. Kemudian, setelah mereka sejenak melepas penatnya, lalu asy Syekh meminta agar mereka semua berkumpul di tenda asy Syekh.

Setelah para keluarga dan murid Beliau berkumpul, lalu asy Syekh memberikan beberapa wejangan dan wasiat-wasiat Beliau kepada mereka. Di antara wasiat yang Beliau sampaikan, asy Syekh mengatakan, "Wahai anak-anakku, perintahkan kepada putra-putramu agar mereka menghafalkan HIZIB BAHRI. Karena, ketahuilah bahwa di dalam hizib itu terkandung Ismullahil a'dhom, yaitu nama-nama Allah Yang Maha Agung."

Kemudian, setelah asy Syekh menyampaikan pesan-pesan Beliau itu, lalu asy Syekh bersama dengan murid terkemuka beliau, asy Syekh Abul Abbas al Marsi, meninggalkan mereka ke suatu tempat yang tidak jauh dari tenda-tenda itu. Tapi dalam waktu yang tidak terlalu lama, sepasang insan mulia itu sudah kembali masuk ke tenda semula, di mana pada waktu itu seluruh keluarga dan para murid Beliau masih menunggunya. Setelah asy Syekh kembali duduk bersama mereka lagi, kemudian Beliau berkata, "Wahai putera-puteraku dan sahabat-sahabatku, apabila sewaktu-waktu aku meninggalkan kalian nanti, maka hendaklah kalian memilih Abul Abbas al Marsi sebagai penggantiku. Karena, ketahuilah bahwa dengan kehendak dan ridho Allah SWT, telah aku tetapkan dia untuk menjadi khalifah yang menggantikan aku setelah aku tiada nanti. Dia adalah penghuni maqom yang tertinggi di antara kalian dan dia merupakan pintu gerbang bagi siapa saja yang menuju kepada Allah SWT."

Pada waktu antara maghrib dan 'isya, Beliau tiba-tiba berkehendak untuk mengerjakan wudhu. Kemudian Beliau memanggil asy Syekh Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, rodliyAllahu 'anh, salah satu putera beliau, "Hai Muhammad, tempat itu (asy Syekh menunjuk ke sebuah timba) agar engkau isi dengan air sumur itu." Di luar tenda memang terdapat sebuah sumur yang biasa diambil airnya oleh para kafilah yang melintas di daerah itu. Air sumur itu rasanya asin karena tempatnya me¬mang tidak tidak terlalu jauh dari tepi laut atau pantai.

Mengetahui air sumur itu asin, maka putra Beliau itu pun memberanikan diri untuk matur dengan mengatakan, "Wahai guru, air sumur itu asin, sedangkan yang hamba bawa ini air tawar." Syekh Syarafuddin menawarkan kepada Beliau air tawar yang sudah disiapkan dan memang sengaja dibawa sebagai bekal di perjalanan. Kemudian asy Syekh mengatakan, "Iya, aku mengerti. Tapi, ambilkan air sumur itu. Apa yang aku inginkan tidak seperti yang ada dalam pikiran kalian." Selanjutnya oleh putera Beliau itu lalu diambilkan air sumur sebagaimana yang asy Syekh kehen¬daki. Setelah selesai berwudhu, kemudian asy Syekh berkumur dengan air sumur yang asin itu lalu menumpahkan ke dalam timba kembali. Setelah itu Beliau memerintahkan agar air bekas kumuran tersebut dituangkan kembali ke dalam sumur. Sejak saat itu, dengan idzin Allah Yang Maha Agung, air sumur itu seketika berubah menjadi tawar dan sumbernya pun semakin membesar. Sumur itu hingga sekarang masih terpelihara dengan baik.

Setelah itu kemudian asy Syekh mengerjakan sholat 'isya lalu diteruskan dengan sholat-sholat sunnat. Tidak berapa lama kemudian asy Syekh lalu berbaring dan menghadapkan wajah Beliau kepada Allah SWT (tawajjuh) seraya berdzikir sehingga, kadang-kadang, mengeluarkan suara yang nyaring, sampai-sampai terdengar oleh para murid dan sahabat-sahabat beliau. Pada malam itu tiada henti-hentinya asy Syekh memanggil-manggil Tuhannya dengan mengucapkan, "Ilaahiy, ilaahiy, " (Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku, ...........). Dan kadang-kadang pula Beliau lanjutkan dengan mengucapkan, "Allahumma mataa yakuunul liqo' ?" ("Ya Allah, kapan kiranya hamba bisa bertemu?"). Sepanjang malam itu, keluarga dan murid asy Syekh dengan penuh rasa tawadhu', saling bergantian menunggui, merawat, dan mendampingi beliau.

Ketika waktu sudah sampai di penghujung malam, yaitu menjelang terbitnya fajar, setelah asy Syekh sudah beberapa saat terdiam dan tidak mengeluarkan suara, maka mereka pun mengira bahwa asy Syekh sudah nyenyak tertidur pulas. Asy Syekh Syarafuddin perlahan-lahan mendekati beliau. Kemudian, dengan cara yang amat halus, putera Beliau itu lalu menggerak-gerakkan tubuh asy Syekh. Sedikit terkejut dan tertegun syekh Syarafuddin mendapatinya, karena asy Syekh al Imam al Quthub, rodhiyallahu 'anh, ternyata sudah berpulang ke rohmatullah. Inna lillahi wa inna ilaihi roji 'un. Ketika itu Beliau berusia 63 tahun, sama dengan usia Rasulullah SAW.

Setelah sholat subuh pada pagi hari itu, jasad asy Syekh nan suci pun segera dimandikan dan dikafani oleh keluarga dan para murid beliau. Sedangkan ketika matahari mulai tinggi, semakin banyak pula para ulama, shiddiqin, dan auliya'ulloh agung berduyun-duyun berdatangan untuk berta'ziyah dan turut mensholati jenazah beliau, termasuk di antaranya kadinya para kadi negeri Mesir, asy Syekh al Waly Badruddin bin Jamaah. Hadir pula di antara mereka para pangeran dan pejabat kerajaan. Kehadiran para insan mulia dan pembesar-pembesar negara di tempat itu, selain untuk memberikan penghormatan kepada sang Imam Agung, jugs untuk mendapatkan berkah dari mengiringkan jenazah asy Syekh, rodliyAllahu 'anh.

Demikian pula perasaan sedih dan kehilangan dialami pula oleh keluarga dan murid-murid asy Syekh. Pada hari itu mereka telah ditinggalkan oleh orang yang benar-benar mereka cintai dan hormati. Selama kehidupan asy Syekh, umur Beliau sebagian besar banyak dihabiskan untuk keluarga dan umat beliau. Seluruh kasih sayang dan perhatian Beliau senantiasa dicurahkan kepada mereka. Dalam rangkaian doa-doa Beliau selalu tidak pernah tertinggalkan permohonan maghfiroh dan rohmat bagi mereka.

Bagi masyarakat kebanyakan, apa lagi. Tidak sedikit di antara mereka yang mencucurkan air mata karena merasa telah ditinggalkan oleh orang yang selama ini selalu menyantuni, membantu, membela, dan mengayomi mereka. Berbagai problem kehidupan, mulai dari persoalan pribadi, rumah tangga, ekonomi, sampai permasalahan dengan pihak kerajaan pun, mereka selalu lari dan mengadu kepada beliau. Segala macam keluh kesah dan penderitaan senantiasa mereka tumpahkan kepada asy Syekh untuk dicarikan jalan pemecahannya. Pembelaan dan keberpihakan Beliau kepada rakyat kecil dan kaum dhuafa, Beliau tunjukkan dengan seringnya Beliau maupun utusannya menjadi penyambung lidah rakyat dengan pihak kerajaan.

Oleh karena itu, desa Khumaitsaroh yang pada hari-hari sebelumnya tampak sepi dan hanya untuk lalu-lalang para kafilah saja, pada hari itu tiba-tiba berubah menjadi amat ramai luar biasa. Bagaimana tidak, para pejabat kerajaan maupun ulama-ulama yang berta'ziyah tentu tidak datang sendirian. Meeka rata-rata diiringi oleh para pengawal dan pengikut-pengikutnya. Di samping itu murid-murid Beliau yang jumlahnya sangat banyak dan orang-orang awam yang mendengar berpulangnya Beliau tentu tidak akan melewatkan waktu untuk turut berta'ziyah dan memberikan penghormatannya.

Jenazah asy Syekh pun kemudian dimakamkan di desa itu pula. Makam Beliau sampai sekarang terpelihara dengan baik dan banyak kaum muslimin yang datang dari segenap penjuru dunia untuk menziarahi beliau.

ILA HADROTI SULTHONUL AULIYA SYAIKH ABIL HASAN ASY SYADZILIY ... AL FATIHAH.

Read more...

BIOGRAFI SINGKAT

AL-IMAM MUHAMMAD BIN ALI SHAHIB AL-HAUTHOH

( MUHAMMAD MAULA AIDID )

Yang pertama kali mendapat gelar Aidid ialah waliyyullah Muhammad bin Ali Shahib Al-Hauthoh bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Faqih bin Abdurrahman bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbat bin Ali Kholi Qasam…………Rasulullah Muhammad SAW.

Al-Imam Muhammad bin Ali Shahib Al-Hauthoh ini adalah generasi ke 23 dari Rasulullah SAW.

Gelar yang disandangnya karena beliau adalah orang yang pertama tinggal dilembah Aidid yang tidak berpenduduk disebut “ Wadi Aidid “, yaitu lembah yang terletak di daerah pegunungan sebelah barat daya kota Tarim, Hadramaut (Yaman) dan mendirikan sebuah Masjid untuk tempat beribadah dan beruzlah (mengasingkan diri) dari keramaian.

Penduduk disekitar lembah tersebut mengangkat Al-Imam Muhammad bin Ali Shahib Al-Hauthoh sebagai Penguasa Lembah Aidid dengan gelar Muhammad Maula Aidid . Maula berarti Penguasa.

Al-Imam Muhammad Maula Aidid pernah ditanya oleh beberapa orang “Wahai Imam mengapa engkau mendirikan sebuah Masjid yang juga dipakai untuk shalat Jum’at, sedangkan di lembah ini tak ada penghuninya ? “. Lalu beliau menjawab “ nanti akan datang suatu zaman dimana zaman tersebut banyak sekali Umat yang datang kelembah ini, datang dan bertabaruk.

Alhabib Umar bin Muhammad Bin Hafidz pada kesempatan ziarah di Zambal, menceritakan ucapan Al-Imam Muhammad Maula Aidid tersebut dihadapan murid-muridnya, kemudian ia berkata didepan maqam Al-Imam Muhammad Maula Aidid “ Wahai Imam kami, semua yang hadir dihadapanmu ini menjadi saksi akan ucapanmu ini “.

Al-Imam Muhammad Maula Aidid dilahirkan di kota Tarim sekitar tahun 754 Hijriyyah, istrinya bernama Syarifah binti Hasan bin Alfaqih Ahmad seorang yang sholehah dan zuhud. Dikarunia 6 orang anak lelaki, yaitu Ahmad Al-Akbar, Abdurahman, Abdullah, Ali, Alwi dan Alfaqih Ahmad. Dari keenam orang anaknya hanya tiga orang yang melanjutkan keturunannya, yaitu Abdullah, Abdurrahman dan Ali.

Abdullah dan Abdurrahman mendapat gelar Bafaqih yang kemudian menjadi leluhur “Bafaqih”. Diberi gelar Bafaqih karena Beliau alim dalam ilmu fiqih sebagaimana ayahnya dikenal masyarakat sebagai seorang ahli ilmu fiqih. Sedangkan anaknya yang lain yang bernama Ali gelarnya tetap Aidid yang kemudian menjadi leluhur “ Aidid “.

Al-Imam Muhammad Maula Aidid mempunyai enam 6 orang, yaitu :

1. Ahmad Al-Akbar, keturunannya terputus, beliau sangat mencintai ilmu pengetahuan, mendalami ilmu pengobatan dan ilmu analisis. Lahir dan wafat di Tarim. Wafat tahun 862 H. bersamaan tahun wafat dengan ayahnya.

2. Abdurrahman Bafaqih, mempunyai 5 orang anak lelaki, 3 diantaranya meneruskan keturunannya, yaitu :

  • Ahmad

  • Zein

  • Atthayib

Abdurrahman Bafaqih wafat di Tarim tahun 884 H.

3. Abdullah Al-A’yan An-Nassakh Bafaqih mempunyai tiga orang anak lelaki :

  • Alwi (tidak punya keturunan)

  • Husein (keturunan di Qamar), mempunyai seorang anak yang bernama Sulaiman yang lahir di Tarim dan wafat di Al-Mahoo tahun 1009 H. Sulaiman ini mempunyai anak Husin, Husin mempunyai anak Abubakar. Al-Habib Abubakar ini menjadi Sultan di kepulauan Komoro di Afrika Utara.

  • Ahmad, mempunyai dua orang anak lelak

a. Sulaiman

b. Ali, mempunyai dua orang anak lelaki :

- Abdurrahman

- Muhammad, lahir di Tarim Kemudian Hijrah dan menetap di Kenur (India), kemudian pindah ke Heiderabat (India)

dan wafat disana. Al-Habib Muhammad mempunyai 7 orang anak :

- Ahmad (tidak diketahui)

- Umar, wafat di India.

- Abdullah, wafat di Khuraibah.

- Husin Lahir dan wafat di tarim tahun 1040 H.

- Abubakar lahir di Tarim dan wafat di Qoidon tahun 1053 H.

- Ali wafat di Khuraibah.

Abdullah Bafaqih wafat selang beberapa tahun wafatnya Abdurrahman Bafaqih dalam perjalanan dari kota Makah Al-Mukarramah ke kota Madinah Al-Munawwarah yang dimakamkan disekitar antara kedua kota suci tersebut.

4. Ali Aidid wafat tahun 919 H, mempunyai tiga orang anak lelaki :

  • Muhammad Al-Mahjub, wafat tahun 973 H.

  • Abdullah.

  • Abdurrahman wafat tahun 976 H.

5. Alwi Bafaqih, keturunannya terputus pada generasi ke 7 tahun 1123 H.

6. Alfaqih Ahmad (tidak punya keturunan)

Waliyullah Muhammad Maula Aidid seorang Imam besar pada zamannya dan hafal Al-Qur’an sejak usia muda. Guru-Guru beliau :

1. Syech Muhammad bin Hakam Baqusyair, di Qasam

2. Al-Faqih Abdullah bin Fadhal Bolohaj

3. Al-Muqaddam Al-Tsani Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah. Beliau belajar kepadanya 20 tahun.

4. Al-Imam Muhammad bin Hasan Jamalullail

5. Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al-Khatib

6. Anak-anak dari Al-Imam Abdurrahman Assegaf

7. Al-Imam Muhammad Maula Dawilah (berdasarkan kitab Al-Ghurror)

Murid-muridnya :

1. Abdullah Alaydrus bin Abubakar Assakran

2. Ali bin Abubakar Assakran

3. Muhammad bin Ahmad Bafadhaj

4. Muhammad bin Ahmad Bajarash

5. Umar bin Abdurrahman Shahib Al-Hamra

6. Muhammad bin Ali bin Alwi Al-Khirid (Shahib kitab Al-Ghurror)

7. Anak-anaknya.

Dalam Kitab Al-Ghurror halaman 358 Diceritakan oleh Alfaqih Ali bin Abdurahman Al-Khatib :

Aku bermaksud mendatangi Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid dari rumahnya ke Wadi, tidak aku temukan beliau disana. Maka ketika aku tengah berada di Wadi tersebut, tiba-tiba aku mendengar suara gemericik air di selah bukit, padahal tidak ada awan mendung ataupun hujan. Maka aku berniat mendekat untuk menjawab rasa penasaranku terhadap bunyi tadi yang datangnya dari Wadi. Seketika aku melihat Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid sedang duduk dan air yang muncrat dari celah-celah bukit mendatanginya. Lalu Muhammad bin Ali Shohib Aidid menyuruh untuk aku duduk. Lalu aku mengambil tempat untuk minum air tersebut. Setelah itu aku mandi dan berwudlu . Selesai itu kami berdua meninggalkan Wadi . Setelah sampai dirumah , keluargaku bertanya : “ Siapa yang telah menggosokkan Ja’faron ditubuhmu ? “. Aku menjawab tidak ada yang menggosokkan Ja’faron ketubuhku. Keluargaku berkata : “Ja’faron itu tercium dari badan dan bajumu !”. Maka aku menjawab beberapa saat yang lalu aku mandi dan mencuci bajuku bersama Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid. Saat itu juga aku bersihkan harum ja’faron itu dengan air dan tanah, tetapi harumnya tidak bisa hilang hingga waktu yang lama.

Dalam Kisah Al-Masra Al-Rawi Jilid I hal 399 diceritakan

Bahwa Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid banyak membaca Al-Qur’an disetiap waktu terutama surat Al-Ikhlas. Beliau adalah orang yang zuhud . Beliau memandang dunia hanya sebagai bayangan yang cepat berlalu. Banyak fakir miskin dan tamu yang datang kepadanya dengan berbagai keperluan, dan beliau selalu memenuhinya. Ahklaknya lebih lembut dari tiupan angin. Beliau dikuburkan di pemakaman Jambal disisi kakeknya Muhammad bin Abdurrahman bin Alwi.

Menurut kisah Syarh al-Ainiyah hal.206

Tertulis bahwa Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid mendawamkan bacaan surat Al-ikhlas antara shalat Maghrib dan Isya sebanyak 3000 kali.

Waliyyullah Muhammad Maula Aidid wafat di kota Tarim pada tahun 862 Hijriyyah. Dimakamkan di Pemakaman Jambal disisi kakeknya Muhammad bin Abdurrahman bin Alwi.

Ayah beliau Ali Shahib Al-Hauthoh, wafat tahun 830 Hijriyyah Gelar Shahib Al-Hauthoh yang disandangnya karena beliau tinggal di Hauthoh yang terletak sebelah barat kota Tarim, Hadramaut.

Diantara silsilah yang melalui Al-Imam Abdurrahman bin Alwi (Ammil Faqih) antara lain :

1. Bin Semith 5.Al-Qoroh 9.Al-Hudaili

2. Baabud Magfun 6.Aidid 10.Basuroh

3. Ba Hasyim 7.Al-Haddad 11.Bafaqih

4. Al-Baiti 8.Bafaraj 12.BinThahir

Penyusun : Alwi Husein Aidid.

Sumber dari : Habib Idrus Alwi Almasyhur, Habib Alwi Almasyhur dan Habib Zein Alwi bin Taufik Aidid.

Read more...

Manaqip Ahlul Bait S.A.W

Al-Imam Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW

Beliau adalah Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau dijuluki dengan julukan Abal Hasan atau Abal Husain. Beliau juga dijuluki dengan As-Sajjad (orang yang ahli sujud).

Beliau adalah seorang yang ahli ibadah dan panutan penghambaan dan ketaatan kepada Allah. Beliau meninggalkan segala sesuatu kecuali Tuhannya dan berpaling dari yang selain-Nya, serta yang selalu menghadap-Nya. Hati dan anggota tubuhnya diliputi ketenangan karena ketinggian makrifahnya kepada Allah, rasa hormatnya dan rasa takutnya kepada-Nya. Itulah sifat-sifat beliau, Al-Imam Ali Zainal Abidin.

Beliau dilahirkan di kota Madinah pada tahun 33 H, atau dalam riwayat lain ada yang mengatakan 38 H. Beliau adalah termasuk generasi tabi'in. Beliau juga seorang imam agung. Beliau banyak meriwayatkan hadits dari ayahnya (Al-Imam Husain), pamannya Al-Imam Hasan, Jabir, Ibnu Abbas, Al-Musawwir bin Makhromah, Abu Hurairah, Shofiyyah, Aisyah, Ummu Kultsum, serta para ummahatul mukminin/isteri-isteri Nabi SAW (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau, Al-Imam Ali Zainal Abidin, mewarisi sifat-sifat ayahnya (semoga Allah meridhoi keduanya) di didalam ilmu, zuhud dan ibadah, serta mengumpulkan keagungan sifatnya pada dirinya di dalam setiap sesuatu.

Berkata Yahya Al-Anshari, "Dia (Al-Imam Ali) adalah paling mulianya Bani Hasyim yang pernah saya lihat." Berkata Zuhri, "Saya tidak pernah menjumpai di kota Madinah orang yang lebih mulia dari beliau." Hammad berkata, "Beliau adalah paling mulianya Bani Hasyim yang saya jumpai terakhir di kota Madinah." Abubakar bin Abi Syaibah berkata, "Sanad yang paling dapat dipercaya adalah yang berasal dari Az-Zuhri dari Ali dari Al-Husain dari ayahnya dari Ali bin Abi Thalib."

Kelahiran beliau dan Az-Zuhri terjadi pada hari yang sama. Sebelum kelahirannya, Nabi SAW sudah menyebutkannya. Beliau shalat 1000 rakaat setiap hari dan malamnya. Beliau jika berwudhu, pucat wajahnya. Ketika ditanya kenapa demikian, beliau menjawab, "Tahukah engkau kepada siapa aku akan menghadap?." Beliau tidak suka seseorang membantunya untuk mengucurkan air ketika berwudhu. Beliau tidak pernah meninggalkan qiyamul lail, baik dalam keadaan di rumah ataupun bepergian. Beliau memuji Abubakar, Umar dan Utsman (semoga Allah meridhoi mereka semua). Ketika berhaji dan terdengar kalimat, "Labbaikallah...," beliau pingsan.

Suatu saat ketika beliau baru saja keluar dari masjid, seorang laki-laki menemuinya dan mencacinya dengan sedemikian kerasnya. Spontan orang-orang di sekitarnya, baik budak-budak dan tuan-tuannya, bersegera ingin menghakimi orang tersebut, akan tetapi beliau mencegahnya. Beliau hanya berkata, "Tunggulah sebentar orang laki-laki ini." Sesudah itu beliau menghampirinya dan berkata kepadanya, "Apa yang engkau tidak ketahui dari diriku lebih banyak lagi. Apakah engkau butuh sesuatu sehingga saya dapat membantumu?." Orang laki-laki itu merasa malu. Beliau lalu memberinya 1000 dirham. Maka berkata laki-laki itu, "Saya bersaksi bahwa engkau adalah benar-benar cucu Rasulullah."

Beliau berkata, "Kami ini ahlul bait, jika sudah memberi, pantang untuk menginginkan balasannya." Beliau sempat hidup bersama kakeknya, Al-Imam Ali bin Abi Thalib, selama 2 tahun, bersama pamannya, Al-Imam Hasan, 10 tahun, dan bersama ayahnya, Al-Imam Husain, 11 tahun (semoga Allah meridhoi mereka semua).

Beliau setiap malamnya memangkul sendiri sekarung makanan diatas punggungnya dan menyedekahkan kepada para fakir miskin di kota Madinah. Beliau berkata, "Sesungguhnya sedekah yang sembunyi-sembunyi itu dapat memadamkan murka Tuhan." Muhammad bin Ishaq berkata, "Sebagian dari orang-orang Madinah, mereka hidup tanpa mengetahui dari mana asalnya penghidupan mereka. Pada saat Ali bin Al-Husain wafat, mereka tak lagi mendapatkan penghidupan itu."

Beliau jika meminjamkan uang, tak pernah meminta kembali uangnya. Beliau jika meminjamkan pakaian, tak pernah meminta kembali pakaiannya. Beliau jika sudah berjanji, tak mau makan dan minum, sampai beliau dapat memenuhi janjinya. Ketika beliau berhaji atau berperang mengendarai tunggangannya, beliau tak pernah memukul tunggangannya itu. Manaqib dan keutamaan-keutamaan beliau tak dapat dihitung, selalu dikenal dan dikenang, hanya saja kami meringkasnya disini.

Beliau meninggal di kota Madinah pada tanggal 18 Muharrom 94 H, dan disemayamkan di pekuburan Baqi', dekat makam dari pamannya, Al-Imam Hasan, yang disemayamkan di qubah Al-Abbas. Beliau wafat dengan meninggalkan 11 orang putra dan 4 orang putri. Adapun warisan yang ditinggalkannya kepada mereka adalah ilmu, kezuhudan dan ibadah. (sumber : Almuhajir.net)

Radhiyallohu anhu wa ardhah...

Read more...

About This Blog

About This Blog

  © Free Blogger Templates Spain by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP